Kamis, 17 Juli 2014

Belantara Reklame Kota Yogyakarta

Mungkin inilah salah satu upaya Indonesia mengkonservasi hutan belantara, dengan cara mengkonversinnya menjadi belantara reklame. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia pun tak luput dari proyek ini, termasuk Yogyakarta, kota yang konon disebut sebagai kota ramah lingkungan. Ramah lingkungan? Ya, Patung Adipura membuktikannya. Oh, tapi tunggu dulu, belantara reklame membantahnya.

Setiap hari, kami sebagai warga kota Yogyakarta yang baik harus suka rela menyaksikan berjuta reklame di pinggir maupun melintangi jalan. Kesemrawutan penempatan reklame menjadi menu penutup sarapan di setiap pagi. Maka tak jarang, demi menjaga kewarasan, saya memvariasi rute pulang pergi kuliah reguler dengan rute yang sedikit frekuensi reklamenya.

Keberadaan reklame yang berlebih ini, sebenarnya juga berbahaya bagi keselematan pengguna jalan. Selain dapat meningkatkan risiko kecelakaan karena menurunnya konsentrasi pengendara, probabilitas korban berjatuhan karena cerita reklame rubuh akan meningkat. Namun, ada positifnya juga, hal ini dapat meningkatkan kesadaran pengendara akan penggunaan helm SNI yang baik dan benar. Tapi, helm pun tak akan kuat menahan hantaman reklame rubuh. Sepertinya... tak ada bedanya. :|

Penempatan reklame pada gedung-gedung bernilai historis juga menurunkan nilai-nilai kebudayaan kota Yogyakarta. Hal ini juga dapat mengurangi frekuensi turis yang berkunjung. Niatnya datang ke Jogja untuk melihat keindahan arsitektur kolonial Belanda, justru disuguhi pemandangan iklan makanan cepat saji atau bahkan sinetron 'Ganteng-Ganteng Serigala'nya salah satu TV swasta. Wajar jika turis berpikir dua kali datang kembali ke Jogja.

Akhir-akhir ini, kompetisi produk antar perusahaan semakin sengit. Contohnya, yang paling ketat, persaingan antar provider telekomunikasi dan rokok. Persaingan mereka muncul dipermukaan tidak hanya dalam media dalam ruangan seperti televisi atau koran, tapi juga dalam bentuk reklame-reklame besar di pinggir jalan. Karena hal iniliah, keberadaan reklame menjadi sangat eksis dan dibutuhkan oleh berbagai perusahaan.

Pemkot Yogyakarta tak luput mendapat berkah dari eksistensi reklame ini. Pajak reklame memberi andil cukup besar dalam Pendapatan Asli Daerah kota Yogyakarta. Pada tahun 2009 saja, pemkot Yogyakarta mendapat pemasukan pajak reklame sebesar 5 miliar rupiah. Pendapatan ini terus meningkat setiap tahunnya. Betapa menggiurkan.

Terlepas dari semua itu, segala bentuk kesemrawutan reklame harus dihilangkan. Mungkin tak semua warga Jogja acuh dengan isu ini, akan tetapi sebagian juga concern dan menginginkan Jogja lebih baik dengan penataan reklame yang prima. Atau mungkin, bolehkah kita bermimpi melihat wajah kota Yogyakarta baru tanpa reklame satu pun? Bolehkah kita bermimpi melihat Jogja seperti melihat Sao Paolo? Baca http://www.memobee.com/sao-paulo-kota-besar-tanpa-satu-pun-papan-iklan-1702-sms.html . Sepertinya untuk 1 tahun ke depan akan sangat sulit direalisasikan.

Pernahkah kalian menonton Shingeki no Kyojin (Attack on Titan) ? Aku tertarik dengan salah satu quote nya yang diungkapkan oleh Armin Arlert , "Orang yang tidak bisa mengorbankan sesuatu, tidak akan mengubah apapun". Sama dengan masalah reklame, kalau pemkot tidak segera berkorban mengurangi pendapatan dari pajak reklame dengan mengurangi dan menatanya, maka aku tak ragu kota Yogyakarta akan benar-benar menjadi belantara reklame. Toh jika reklame ditata turis yang datang ke Jogja juga akan semakin banyak. Jadi, kami sebagai warga kota Yogyakarta dan sekitarnya berharap melihat pengorbananmu, Pemkot Yogyakarta.

Rabu, 16 Juli 2014

China atau Jerman? Kuharap Keduanya, Kontraktor

Beberapa hari ini aku sedang membaca 'How to Master Your Habits'nya Felix Y. Siaw. Seperti buku-buku motivasi lainnya, bacaan ini berhasil membuka mataku terhadap sesuatu, dalam hal ini habits atau kebiasaan. Aku sangat terkejut ketika Felix Y. Siaw mengemukakan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan pembiasaan, dengan kata lain, tiga puluh hari minimal diperlukan untuk membentuk kebiasaan. Benakku pun melayang, mencari pembuktian teori ini. Tak lama kemudian aku menahan tawaku seraya berkata dalam hati 'Oh iya!'

--------------------------------------------------------------------------------------------

Alkisah, di awal bulan Juni tahun 2014, aku bertanya-tanya mengapa jalan depan Masjid Kampus UGM macet, tidak seperti biasanya yang seakan tanpa hambatan. Tak beberapa lama kemudian, aku pun tahu penyebabnya. Sepertinya ada penggalian saluran drainase yang menyita satu ruas jalan arah Utara-Selatan, sehingga pengguna lajur Selatan-Utara harus rela berbagi tempat dengan pengguna lajur arah sebaliknya.
Masalah baru pun muncul, karena keadaan luar biasa ini, pengguna lajur Selatan-Utara mau tidak mau harus melewati tepian sisi kiri yang DULUNYA jarang dilewat. Lho, kenapa jarang dilewati? Sepertinya kalian harus melihatnya sendiri. Jalan tepian kiri ini sangat amblas karena piringan tutup drainase, sehingga bagi motor yang melewati tepat diatasnya mempunyai probabilitas shok rusak yang cukup besar dan dapat merontokkan mood pengemudinya. Ya, semua orang berusaha menghindarinya. Semua orang tak terkecuali aku,
Sekarang, pertengahan Juli tahun 2014, semua orang yang telah bertekad menghindarinya sepertinya berhasil melakukannya. Frekuensi orang sial terkena ranjau tutup piringan drainase berkurang drastis semenjak Juni 2014. Mengapa ini bisa terjadi? Tepat seperti yang Felix Y. Siaw kemukakan! Ini mengenai 30 hari pembiasaan. Kebiasaan menghindari tutup drainase selama lebih dari 30 hari.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Tapi yang menjadi sorotan pada post ini bukanlah tentang pembiasaan atau Felix Y. Siaw, tapi tentang sang kontraktor. Aku memang bukan seorang mahasiswa teknik. Aku juga tidak mengerti apapun tentang masalah konstruksi atau pembangunan segala sesuatu.  Tapi menurutku kontraktor Indonesia itu kalau membangun apa-apa rasanya terlalu lama, lambat sekali. Entah itu memang seharusnya begitu, atau seharusnya bisa lebih cepat.
Yang jelas, kalau aku dengar dari teman atau baca dari mana saja, sepertinya kontraktor di negeri luar, khususnya China, sangat bekerja sangat cepat dalam pembangunan. Contoh konkritnya... coba baca ini http://www.ilmusipil.com/china-bangun-gedung-30-lantai-dalam-waktu-15-hari , dan bandingkan dengan contoh di atas. Bayangkan! China membangun gedung 30 lantai dalam 15 hari,  sedangkan Indonesia membangun saluran drainase depan maskam 30 hari lebih belum selesai! Sangat miris T_T.
Selain itu, kualitas hasil pembangunan kontraktor lokal sangat memprihatinkan. Paling jelas ketika ada perbaikan saluran drainase di jalan. Memang, saluran drainase sudah diperbaiki, tapi bekas perbaikan masih membekas, meninggalkan sesuatu yang tidak enak dipandang dan merusak kenyamanan mengemudi di jalan. Tak lama kemudian, mungkin 6 bulanan, jalan akan dibongkar lagi, saluran drainase akan diperbaiki lagi. Sangat terlihat kerja kontraktor yang kurang berkualitas, baru beberapa bulan saja harus diganti kembali. Hal ini sangat kontradiktif dengan Jerman. Kalian tahu? Mobil Mercedes-Benz dirancang bukan untuk beberapa tahun kedepan pemakaian, akan tetapi untuk selama-lamanya! Bisa kita bayangkan bagaimana kualitasnya.
Begitulah keadaan kontraktor Indonesia. Memprihatinkan. Aku, mungkin lebih tepat kita, hanya bisa berharap  kontraktor Indonesia bisa meniru filosofi China, mengerjakan segala sesuatunya dengan cepat. Atau bisa juga meniru filosofi Jerman, membuat sebaik-baiknya segala sesuatu. Atau akan sangat lebih baik jika meniru kedua-duanya, cepat dan berkualitas!






Minggu, 13 Juli 2014

Esensi Warnet : Dulu dan Kini

Pupus sudah harapanku. Rapat ini tak seperti yang aku bayangkan. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi lebih. Pasti warnet sudah penuh, dan aku benci menunggu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Itu adalah sedikit cuplikan yang menjelaskan gambaran Warnet saat ini secara implisit.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Dulu aku pernah membaca sebuah artikel di koran lokal yang menyatakan bahwa tak lama lagi eksistensi Warnet akan menghilang seperti yang terjadi pada Wartel. Tapi yang terjadi saat ini tidak seperti yang dipredisikan penulis artikel tersebut. Memang jumlah warnet saat ini jauh berkurang semenjak mengalami booming pada awal tahun 2000an lalu, namun kenyataannya, masih ada beberapa warnet yang tetap bertahan, bahkan sangat ramai disambangi pada saat hari biasa maupun hari libur.
Mengapa bisa demikian? Padahal, aku sangat setuju dengan pendapat artikel tersebut. Mayoritas masyarakat Indonesia sudah memiliki koneksi internet di rumahnya. Kenapa pula harus ke warnet kalau di rumah pun bisa? Opini artikel tersebut tidak salah kok.
Setelah kutelusuri, ternyata letak keunggulan warnet yang bertahan adalah perubahan esensi warnet itu sendiri. Perubahan tujuan orang-orang ke warnet. Dulu ketika koneksi internet masih terbilang jarang di rumah, orang-orang pergi ke warnet untuk mencari informasi yang diperlukan untuk tugas dan lain-lain. Dengan kata lain esensi warnet awalnya adalah menghubungkan seseorang dengan dunia maya.
Lalu, apa yang terjadi sekarang ketika orang-orang sudah tidak lagi memerlukan lagi koneksi internet oleh warnet? Ya, pihak warnet menangkap kegelisahan rakyat Indonesia akan kebutuhan batiniyahnya. Kebutuhan yang SEBENARNYA tidak murah tapi dapat 'dimurahkan' berkat campur tangan warnet. Kalian tahu kebutuhan apa itu? Kalian pasti tahu, kebutuhan menonton film!
Bayangkan jika kita akan membeli dvd blu-ray film original, SEBUAH fim saja, harus merogoh kocek sekitar Rp 200.000,00 - Rp 400.000,00. Bandingkan dengan kenikmatan yang warnet berikan. Kita hanya harus menyiapkan hardisk eksternal untuk menampung film blu-ray yang akan dicopy. Asal kapasitas hardisk eksternal masih mampu menampung, sepuasnya kita bisa mengcopy film blu-ray dari server warnet! Hanya modal hardisk eksternal dan uang 10ribuan, plus uang parkir, kita bisa menikmati berpuluh film berkualitas blu-ray sepuasnya. Tak heran, warnet yang mengakomodasi fasilitas ini mulai jam 10 pagi pasti sudah penuh.
Itulah yang terjadi saat in. Saat-saat di mana mayoritas orang datang ke warnet dengan tujuan mencopy film. Dengan ajaibnnya, esensi warnet awal bisa berubah menjadi gudang film. Sekarang, aku bertanya-tanya, apakah nama 'warnet' akan berubah menjadi 'warlem' alias 'WARung fiLEM'? hehe..
Menarik ditunggu kiprah warlem ini kedepannya. Suatu hari nanti pasti lambat laun, kegiatan pembajakan pasti akan benar-benar dilarang. Saat-saat itulah warlem akan bermetamorfosa lagi, berubah esensi agar bisa tetap bertahan. Menarik ditunggu :).

Sabtu, 12 Juli 2014

Perlukah Organisasi?

Mei 2013

Saya Dayat. Seseorang yang tidak terkenal. Tidak terlalu punya banyak teman. Tidak punya banyak pengalaman. Tidak pernah diperhitungkan.

Saya baru saja diterima oleh UGM sebagai maba jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. Saya bertekad ingin mengubah, memperbaiki diri, mencari banyak teman, mencari pengalaman dan ingin diperhitungkan. Saya harus ikut organisasi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Juli 2014

Saya lelah. Setiap hari harus ke kampus dikala semua orang di rumah menikmati masa liburnya masing-masing. Dikala setiap orang update status sedang liburan entah kemana, bersenang-senang tentunya. Saya marah, dikala ada orang yang update status, menggerutu karena libur-libur harus ke kampus, padahal hanya satu hari saja. Mbok plis, lihatlah aku! Berhentilah menggerutu. Saya iri, teman-teman yang hidupnya selo, tidak ikut segala macam ini, tidak usah bersusah payah seperti ini, tidak perlu mengotori tangan dengan hal-hal seperti ini, tapi memiliki IP yang sangat bagus, jauh lebih baik dariku. Saya iri, ketika teman-teman bisa belajar dengan tenang, sedangkan saya masih berkutat dengan hal ini dan itu, mengorbankan UAS, mengorbankan nilai, mengorbankan segalanya.

Tapi semua itu adalah pilihan yang telah saya ambil. Ya, saya tidak boleh menggerutu.

Toh, saya bisa kenal dengan si A, orang yang dulu hanya bisa saya dengar dari cerita orang-orang. Saya bisa kenal dengan kakak-kakak angkatan, yang dulu adalah sesuatu yang hanya bisa saya impikan. Saya bisa mengerti perihal AD/ART, peminjaman ruang, sponsorship, hubungan dengan TU dan masih banyak lainnya, yang dulu kuanggap sebagai hal yang tabu. Saya bisa ikut banyak outbond/LK/apapun itu sehingga sepatu rusak dan bisa membeli yang baru. Saya bisa senang bersama atau sedih bersama teman-teman ketika menikmati berhasilnya atau gagalnya acara yang sama-sama kami buat. Saya bisa merasakan hal-hal yang tidak seluruh orang lain bisa rasakan, merasakan kebersamaan dalam kesulitan. Saya bisa tidur di sekre sesuka hatinya. Saya merasa lebih tenang dalam menghadapi masalah, mengorganisirnya. Dan pada akhirnya, saya lebih diperhitungkan dibanding saat Mei 2013 itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kalian tahu? Ikut organisasi itu tak semudah yang mbak Presma UGM 2 tahun lalu bicarakan. Dia ikut 8 organisasi. Oke, karena dia memang punya bakat di bidang itu. Beliau juga sudah berpengalaman, SMP dan SMA sudah aktif. Bagaimana denganku? SMP tidak ikut apa-apa. SMA ikut satu organisasi kerohanian tapi tidak pernah hadir kalau ada rapat. Sekarang, dengan 3 biji organisasi yang saya jalani pun, tak heran masih banyak menggerutu. Ditambah lagi ketika teman-teman (jika layak disebut demikian) satu persatu kabur menghilang dari keorganisasian seperti yang saya lakukan dulu. Beban bagi yang ditinggalkan pun mulai muncul. Organisasi tak seperti yang saya bayangkan ketika pertama kali dituturi oleh Presma UGM 2 tahun lalu.

Jadi, perlukah organisasi? Sebenarnya hal ini juga tergantung oleh pribadi masing-masing. Apakah sudah mempunyai kesibukan sendiri, seperti kerja part time, sibuk mengurusi kampung, atau belajar meneruskan bisnis orang tua? Jika sudah, maka sepertinya tidak perlulah ikut organisasi karena hal-hal tersebut juga mengasah soft skill dan juga sudah memakan banyak waktu. Jika belum punya kesibukan, maka haruslah ikut organisasi. Sangat sia-sia kalau kuliah hanya dihabiskan dengan main-main saja, apalagi mainan laptop di rumah sendirian. Waktu sangat berharga. Tapi, jangan naif, jangan mengikuti terlalu banyak organisasi seperti mbak Presma. Kita adalah diri kita, kita bukan mbak presma. Lebih baik ikut organisasi secukupnya sehingga dapat fokus ke setiap organisasi daripada ikut terlalu banyak sehingga justru kesulitan membagi prioritas.

Ya begitulah, penuturan dari saya, menurut pengalaman yang terjadi selama 2 semester ini. 2 semester yang saya habiskan dengan masalah akademis dan non akademis. 2 semester yang penuh cerita. 2 semester yang penuh pembelajaran kehidupan.

Semoga kalian mengerti. Berbahagialah.