Selasa, 18 Februari 2014

Negeri Penghujat Hujan

18 Oktober 2013

Sumpah serapah menggumam keluar dari mulut saya sore ini. Saya tak habis pikir mengapa bisa lupa. Hari ini, hari jum'at. Mestinya saya tahu bahwa jam-jam menjelang sore, jalanan pasti padat. Padahal saya sudah menterlambat-terlambatkan perjalanan menuju kosan teman. Hari ini adalah hari pertama makrab PHPT. Secara jadwal, mahasiswa PHPT 2013 sudah diharuskan datang ke PTF sebelum jam 3 sore untuk selanjutnya diangkut ke lokasi makrab. Sekarang jam berapa? Masih jam 2. Waktu Indonesia Ngaret.*

Sambil memutari setengah lingkaran bundaran MGU dengan motor, saya mendongak keatas. Perbendaharaan sumpah serapah yang keluar dari mulutpun semakin lengkap. Terlihat disana, di atap langit, awan hitam menggantung mengejek kepada setiap insan di bawahnya seakan ia memliki kuasa atas kebahagiaan mereka. Dan memang ia memilikinya. Menyadari hujan akan tumpah, sayapun memacu motor meliuk-liuk diantara semrawutnya jalanan di depan RS ADSEHTEB. Akhirnya rasa lega mengaliri setiap jengkal tubuh, saya berhasil melewati jalan terjal tersebut. Jalanan menjadi lebih lengang ketika saya mulai berbelok ke utara menuju kosan teman. Tapi, tunggu, apa ini? Titik-titik kecil air berjatuhan dari atap langit. "Ah, paling-paling gerimisnya lama" sambil lalu saya bergumam.

3 detik kemudian. Dinginnya air hujan menghujam tubuh sampai ulu hati. Hujan marah. Hujan turun dengan derasnya. Sambil menggerutu saya segera menepi di dekat fakultas MUKUH. Betapa pecahnya emosi saya saat ini. Diperparah dengan gumaman pria setengah baya yang juga sedang memakai mantolnya di belakang saya. "Ass ngopo to ndadak udan?", gerutunya. Dalam diam saya menyetujuinya, mungkin lebih tepatnya lega karena mempunyai teman sesama penghujat hujan saat ini.

"Akhiree" saya mendesah lega ketika BERHASIL masuk ke dalam pelataran kosan teman. Setelah sebelumnya sempat terjadi insiden dimana saya tak kunjung masuk karena dilarang oleh seseorang. Saya tak tahu mengapa. Tapi yang jelas, saya tahu seseorang tadi telah membuat saya menghujat hujan lebih keras. Ah sudahlah, lakukan yang harus dilakukan, sesimpel itu saja kok. Kami bertiga, aku, NAILAV dan INGA, sudah siap untuk berjalan kaki menuju PTF menembus derasnya hujan. Sebelumnya saya harus memarkirkan motor dan meminta izin.

Mimpi apa saya semalam? Lelucon apalagi yang saya dapatkan ini? KEBETULAN apa lagi yang mendera ini? Terkadang kebetulan memiliki selera humor yang sadis. Saya tidak boleh parkir di sini. Sejenak, dalam guyuran hujan, saya tertunduk meresapi apa yang terjadi. Kemarahan itu semakin menjadi-jadi. Dan saya menjadikan hujan sebagai hulu dari semua masalah ini. Menjadikannya sebagai sumber segala permasalahan ini. Menimpahkan semua kekesalan kepada hujan, meski saya tahu hujan tidak bersalah, tetapi setidaknya harus ada yang disalahkan. Ego meresapi saya, tak mau menyalahkan diri sendiri atas segala kekacauan ini.

Dalam diam saya menuju ke kosan teman yang lain. Memarkir motor sekenanya. Saya tidak khawatir motor saya hilang. Kekecewaan sudah terlanjur menggelayut dalam pikiran, menggusur ruang-ruang yang biasanya ditempati oleh kekhawatiran. Saya sudah tidak punya alasan untuk khawatir. Apalagi memikirkan motor. Saya hanya memikirkan bagaimana menuju PTF dan kata-kata apa yang dirasa belum digunakan untuk menghujat hujan. Saya sudah mulai bosan dengan kata yang itu-itu saja.

Banjir. Apalagi ini. Saya tidak bisa mengelak. Setinggi-tingginya celana disingsingkan tetap saja tercelup dalamnya air banjir. Dalam hujan deras ini, saya membelah daerah MAYAG GNARAK sendirian, berjalan sendirian di keheningan kampung yang janggal. Orang-orang melihat saya seakan melihat anjing liar, mata mereka mengisyaratkan ketenangan yang dibuat-buat, ketakutan sekaligus kebencian selayaknya ketika melihat anjing liar lewat. Saya hanya bisa menghela napas dan melanjutkan perjalanan. Saya sudah tidak peduli dengan bagian bawah tubuh saya. Tanpa dilihat, sudah terasa. Saya menerka sudah 3/7 dari tubuh saya sudah basah terkena 'genangan air'. Lama-lama saya kebas, berhenti menghujat hujan. Biarlah semua mengalir. Sesekali napas panjang hilir mudik masuk keluar hidung.

Tak terasa saya sudah menginjakan kaki di sebagian lapangan D3 PTF. Untuk mempersingkat waktu, saya memutuskan langsung memotong jalan menuju ke koridor terdekat sebagai peneduh. Ketika rasa lega kembali mengaliri seluruh tubuh, tak diduga, tiba-tiba saya terperosok. Saya tak tahu kenapa, yang saya tahu dan sebenarnya tak mau tahu, 3/4 bagian tubuh saya sudah basah terkena air sialan itu. Segalanya tumpah, bukan air yang tumpah, akan tetapi kemarahan dan kejengkelan tumpah ruah menuduh hujan sebagai biang keladi semua ini. Setelah beberapa detik menenangkan diri dan bisa berfikir lagi, ternyata saya terperosok kedalam parit yang sebelumnya saya kira semen yang solid. Betapa tak beruntungnya. Tampaknya kemarahan telah mengaburkan pengelihatan dengan mengubah sesuatu yang baik menjadi buruk, yang buruk menjadi baik. Negara AISENODNI merdeka karena kemarahan rakyatnya terhadap penjajahan. Apakah kemarahan itulah yang mengubah sesuatu baik menjadi buruk seperti yang saat ini terjadi? Who knows.

Jadilah aku di sini. Bersama teman-teman, yang sehat tanpa kurang apapun hanya kurang basah (mereka kering seperti gurun saja), mendengarkan instruksi-instruksi dari kakak angkatan. Aku tak peduli. Pikiranku tidak sedang di sini, juga tidak sedang pada seseorang, akan tetapi tercurahkan seluruhnya hanya untuk menghujat hujan, mengutuk segalanya. Tiba-tiba saja saya sudah disuruh sholat ashar berjamaah bersama teman-teman lainnya.

Sholat saya tidak diterima. Bagaimana bisa diterima, kalau dalam sholat bukannya menghamba pada-Nya tetapi justru menghujat ciptaan-Nya, hujan? Ketika selesai salam, terdengar suara 'kresek-kresek' tanda mic tersentuh. "Assalamualaikum warahmatullah, wabarakatuh". Saya kaget, ternyata imamlah yang menyentuh mic tadi, dan sekarang tampaknya dia ingin berinteraksi dengan para jamaah. "Sekarang sedang hujan deras. Hujan itu bukan untuk dibenci tetapi disyukuri". Hati saya berdesir. "Ada 3 waktu ketika doa biasanya banyak dikabulkan. Yaitu yang pertama, ketika azan berkumandang, maka diam dan berdoalah ketika azan berkumandang. Selanjutnya, ketika hari jum'at, maka banyak berdoalah di hari jum'at. Dan yang ketiga, ketika sedang turun hujan, maka berdoalah saat hujan sedang turun agar hujan yang turun membawa rahmat dan manfaat dari Allah, bukannya bencana". Pipi saya panas. Entah dari mana seseorang menampar pipi saya. "Bapak-bapak, ibu-ibu, teman-teman, maka dianjurkanlah kita mengucap doa ketika hujan turun, yang berbunyi "Allahuma shayyiban naafi'a" yang berarti "Ya Allah, jadikan hujan ini hujan yang memberi manfaat.". Sesimpel itu saja tetapi seketika membuat hati saya runtuh.
**
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sejak saat itu saya berusaha tidak lagi menghujat hujan.

Hujan itu bukan untuk dibenci akan tetapi disyukuri.

Post ini ditujukan utamanya untuk para penghujat hujan di negeri penghujat hujan.

Saya sejujurnya sudah gerah membaca twit-twit kalian yang berbau menghujat hujan, akan tetapi ketika sekarang sedang turun abu vulkanik justru mengiba-ibakannya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Waktu Ngaret Indonesia : relatif pada setiap manusia, seseorang bisa memiliki waktu 1 jam, sedangkan yang lainnya hanya 30 menit. Waktu ngaret juga ada di beberapa negara lain. Tetapi ada negara yang tidak memiliki waktu ngaret. Salah satu negara yang tidak memiliki waktu ngaret adalah Swiss.

** Cerita ini didasarkan pengalaman saya. Pesan dari imam yang sebenarnya, lebih sedikit panjang dan lebih menyentuh hati. Nama-nama yang terbalik juga memiliki arti tersendiri, tidak asal dibalik. Dan motor saya masih utuh.

Sabtu, 08 Februari 2014

Kopi Panas Rasa Dingin

Kopi panas rasa dingin. Salah satu produk minuman terbaru yang sedang gencarnya diiklankan di tv. Saya sempat kaget ketika pertama kali melihat iklan tersebut. Karena sejujurnya, menurut saya, nama produk tersebut (kopi panas rasa dingin) bila dipahami dari sudut pandang yang berbeda, sesungguhnya lebih menyerupai sarkasme. Di pelajaran bahasa jawa juga ada hal seperti itu pula. Tapi aku lupa namanya. Sebagai contoh, polahe anteng kitiran (lakunya diam seperti baling-baling). Kita tahu bahwa baling-baling tak pernah diam, selalu bergerak karena angin. Bahkan bergeraknya tak sembarang bergerak, pergerakan yang penuh keagresifitasan (?). Lalu mengapa 'kitiran' disandingkan dengan kata 'anteng' yang berarti sangat kontradiktif yaitu diam? Tak lain dan tak bukan hanya untuk menciptakan sebuah penyindiran yang.. menyakitkan. Nah, sekarang kita baca ungkapan 'kopi panas rasa dingin', sama seperti contoh tadi kan? Jadi, apakah pembuatan produk 'kopi panas rasa dingin' bertujuan untuk menyindir konsumen-konsumennya? Lebih baik kalian menjawab 'tidak', karena daritadi saya tidak benar-benar serius :).

Oke, pada post ini saya tidak akan membahas tentang sarkasme atau kebahasaan yang lainnya. Sesuatu hal yang kontradiktif (berlawanan) adalah yang akan saya bahas. 'Kopi panas rasa dingin', agaknya perusahaan berusaha menciptakan produk yang out of the box. Dan sesungguhnya, salah satu cara untuk menciptakan produk yang out of the box adalah pembuatan produk yang berkiblat pada kata 'kontradiktif'. Contoh produk 'kontradiktif' lainnya, es krim goreng (es krim kok digoreng) dan masih banyak lainnya (ingat, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif dalam urusan kuliner. Saking kreatifnya sampai sampai plastik dibuat makanan).

Nah sekarang, pertanyaannya, mengapa harus produk 'kontradiktif'? dan apakah prospek produk 'kontradiktif' semenjanjikan itu? Akan coba saya jawab. Pada semester I ini, di mata kuliah kimia organik, saya diajar oleh dosen yang lebih mirip tentor Ujian Nasional daripada dosen. Dalam pelajarannya (kadang dalam banyolannya) dia sering mengatakan kaidah 'like dissolve like' (sejenis melarutkan sejenis). Nah, itulah yang saya rasa menjadi pegangan para pemangku perusahaan untuk memasarkan produk 'kontradiktif'nya. Para pemangku perusahaan itu memegang prinsip sejenis melarutkan sejenis, yang dalam kaitan post ini, berarti produk 'kontradiktif' laku dalam zaman 'kontradiktif'. Naaah. Zaman 'kontradiktif'. Sesungguhnya kita sekarang berada dalam zaman 'kontradiktif'. Banyak hal sudah berbeda. Sudah berlawanan. Yang baik menjadi buruk sedangkan yang buruk menjadi baik. Yang umum menjadi khusus, yang khusus menjadi umum. Sebagai contoh, dulu Nabi menyunahkan, jika keluar rumah, umat laki-lakinya memakai wewangian sedangkan umat perempuannya tidak menggunakan wewangian agar tidak mengundang hasrat pria. Akan tetapi sekarang, jika kalian pergi ke mall, yang terjadi justru sebaliknya, banyak wanita wanginya, wuh semerbak sampai tumpeh tumpeh sedangkan para prianya justru kurang wangi dibanding wanita atau bahkan  lebih bisa dikatakan sebagai prengus X)).

Untuk tambahan, dalam kitab Jangka Jayabaya disebutkan sekarang kita ada di zaman edan. Seperti yang dapat ditebak, dengan kaidah like dissolve like, beberapa perusahaan sudah memproduksi sesuatu yang 'edan', tidak masuk dinalar, meski dengan jumlah yang masih sedikit.

Oke, sampai di penghujung post. Jadi apa yang dapat kita petik dari post ini? Nah, bagi yang akan membuka usaha dapat dicoba memproduksi sesuatu yang out of the box dengan menggenggam prinsip 'kontradiktif'. Mungkin usaha anda akan laris manis. ya, mungkin. mungkin kalau semua yang saya tulis ini bukan sekedar gurauan. Saya hanya mencoba memberi prespektif yang berbeda, jangan dimasukin hati  :))