Sabtu, 08 Februari 2014

Kopi Panas Rasa Dingin

Kopi panas rasa dingin. Salah satu produk minuman terbaru yang sedang gencarnya diiklankan di tv. Saya sempat kaget ketika pertama kali melihat iklan tersebut. Karena sejujurnya, menurut saya, nama produk tersebut (kopi panas rasa dingin) bila dipahami dari sudut pandang yang berbeda, sesungguhnya lebih menyerupai sarkasme. Di pelajaran bahasa jawa juga ada hal seperti itu pula. Tapi aku lupa namanya. Sebagai contoh, polahe anteng kitiran (lakunya diam seperti baling-baling). Kita tahu bahwa baling-baling tak pernah diam, selalu bergerak karena angin. Bahkan bergeraknya tak sembarang bergerak, pergerakan yang penuh keagresifitasan (?). Lalu mengapa 'kitiran' disandingkan dengan kata 'anteng' yang berarti sangat kontradiktif yaitu diam? Tak lain dan tak bukan hanya untuk menciptakan sebuah penyindiran yang.. menyakitkan. Nah, sekarang kita baca ungkapan 'kopi panas rasa dingin', sama seperti contoh tadi kan? Jadi, apakah pembuatan produk 'kopi panas rasa dingin' bertujuan untuk menyindir konsumen-konsumennya? Lebih baik kalian menjawab 'tidak', karena daritadi saya tidak benar-benar serius :).

Oke, pada post ini saya tidak akan membahas tentang sarkasme atau kebahasaan yang lainnya. Sesuatu hal yang kontradiktif (berlawanan) adalah yang akan saya bahas. 'Kopi panas rasa dingin', agaknya perusahaan berusaha menciptakan produk yang out of the box. Dan sesungguhnya, salah satu cara untuk menciptakan produk yang out of the box adalah pembuatan produk yang berkiblat pada kata 'kontradiktif'. Contoh produk 'kontradiktif' lainnya, es krim goreng (es krim kok digoreng) dan masih banyak lainnya (ingat, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif dalam urusan kuliner. Saking kreatifnya sampai sampai plastik dibuat makanan).

Nah sekarang, pertanyaannya, mengapa harus produk 'kontradiktif'? dan apakah prospek produk 'kontradiktif' semenjanjikan itu? Akan coba saya jawab. Pada semester I ini, di mata kuliah kimia organik, saya diajar oleh dosen yang lebih mirip tentor Ujian Nasional daripada dosen. Dalam pelajarannya (kadang dalam banyolannya) dia sering mengatakan kaidah 'like dissolve like' (sejenis melarutkan sejenis). Nah, itulah yang saya rasa menjadi pegangan para pemangku perusahaan untuk memasarkan produk 'kontradiktif'nya. Para pemangku perusahaan itu memegang prinsip sejenis melarutkan sejenis, yang dalam kaitan post ini, berarti produk 'kontradiktif' laku dalam zaman 'kontradiktif'. Naaah. Zaman 'kontradiktif'. Sesungguhnya kita sekarang berada dalam zaman 'kontradiktif'. Banyak hal sudah berbeda. Sudah berlawanan. Yang baik menjadi buruk sedangkan yang buruk menjadi baik. Yang umum menjadi khusus, yang khusus menjadi umum. Sebagai contoh, dulu Nabi menyunahkan, jika keluar rumah, umat laki-lakinya memakai wewangian sedangkan umat perempuannya tidak menggunakan wewangian agar tidak mengundang hasrat pria. Akan tetapi sekarang, jika kalian pergi ke mall, yang terjadi justru sebaliknya, banyak wanita wanginya, wuh semerbak sampai tumpeh tumpeh sedangkan para prianya justru kurang wangi dibanding wanita atau bahkan  lebih bisa dikatakan sebagai prengus X)).

Untuk tambahan, dalam kitab Jangka Jayabaya disebutkan sekarang kita ada di zaman edan. Seperti yang dapat ditebak, dengan kaidah like dissolve like, beberapa perusahaan sudah memproduksi sesuatu yang 'edan', tidak masuk dinalar, meski dengan jumlah yang masih sedikit.

Oke, sampai di penghujung post. Jadi apa yang dapat kita petik dari post ini? Nah, bagi yang akan membuka usaha dapat dicoba memproduksi sesuatu yang out of the box dengan menggenggam prinsip 'kontradiktif'. Mungkin usaha anda akan laris manis. ya, mungkin. mungkin kalau semua yang saya tulis ini bukan sekedar gurauan. Saya hanya mencoba memberi prespektif yang berbeda, jangan dimasukin hati  :))

1 komentar: