Mungkin inilah salah satu upaya Indonesia mengkonservasi hutan belantara, dengan cara mengkonversinnya menjadi belantara reklame. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia pun tak luput dari proyek ini, termasuk Yogyakarta, kota yang konon disebut sebagai kota ramah lingkungan. Ramah lingkungan? Ya, Patung Adipura membuktikannya. Oh, tapi tunggu dulu, belantara reklame membantahnya.
Setiap hari, kami sebagai warga kota Yogyakarta yang baik harus suka rela menyaksikan berjuta reklame di pinggir maupun melintangi jalan. Kesemrawutan penempatan reklame menjadi menu penutup sarapan di setiap pagi. Maka tak jarang, demi menjaga kewarasan, saya memvariasi rute pulang pergi kuliah reguler dengan rute yang sedikit frekuensi reklamenya.
Keberadaan reklame yang berlebih ini, sebenarnya juga berbahaya bagi keselematan pengguna jalan. Selain dapat meningkatkan risiko kecelakaan karena menurunnya konsentrasi pengendara, probabilitas korban berjatuhan karena cerita reklame rubuh akan meningkat. Namun, ada positifnya juga, hal ini dapat meningkatkan kesadaran pengendara akan penggunaan helm SNI yang baik dan benar. Tapi, helm pun tak akan kuat menahan hantaman reklame rubuh. Sepertinya... tak ada bedanya. :|
Penempatan reklame pada gedung-gedung bernilai historis juga menurunkan nilai-nilai kebudayaan kota Yogyakarta. Hal ini juga dapat mengurangi frekuensi turis yang berkunjung. Niatnya datang ke Jogja untuk melihat keindahan arsitektur kolonial Belanda, justru disuguhi pemandangan iklan makanan cepat saji atau bahkan sinetron 'Ganteng-Ganteng Serigala'nya salah satu TV swasta. Wajar jika turis berpikir dua kali datang kembali ke Jogja.
Akhir-akhir ini, kompetisi produk antar perusahaan semakin sengit. Contohnya, yang paling ketat, persaingan antar provider telekomunikasi dan rokok. Persaingan mereka muncul dipermukaan tidak hanya dalam media dalam ruangan seperti televisi atau koran, tapi juga dalam bentuk reklame-reklame besar di pinggir jalan. Karena hal iniliah, keberadaan reklame menjadi sangat eksis dan dibutuhkan oleh berbagai perusahaan.
Pemkot Yogyakarta tak luput mendapat berkah dari eksistensi reklame ini. Pajak reklame memberi andil cukup besar dalam Pendapatan Asli Daerah kota Yogyakarta. Pada tahun 2009 saja, pemkot Yogyakarta mendapat pemasukan pajak reklame sebesar 5 miliar rupiah. Pendapatan ini terus meningkat setiap tahunnya. Betapa menggiurkan.
Terlepas dari semua itu, segala bentuk kesemrawutan reklame harus dihilangkan. Mungkin tak semua warga Jogja acuh dengan isu ini, akan tetapi sebagian juga concern dan menginginkan Jogja lebih baik dengan penataan reklame yang prima. Atau mungkin, bolehkah kita bermimpi melihat wajah kota Yogyakarta baru tanpa reklame satu pun? Bolehkah kita bermimpi melihat Jogja seperti melihat Sao Paolo? Baca http://www.memobee.com/sao-paulo-kota-besar-tanpa-satu-pun-papan-iklan-1702-sms.html . Sepertinya untuk 1 tahun ke depan akan sangat sulit direalisasikan.
Pernahkah kalian menonton Shingeki no Kyojin (Attack on Titan) ? Aku tertarik dengan salah satu quote nya yang diungkapkan oleh Armin Arlert , "Orang yang tidak bisa mengorbankan sesuatu, tidak akan mengubah apapun". Sama dengan masalah reklame, kalau pemkot tidak segera berkorban mengurangi pendapatan dari pajak reklame dengan mengurangi dan menatanya, maka aku tak ragu kota Yogyakarta akan benar-benar menjadi belantara reklame. Toh jika reklame ditata turis yang datang ke Jogja juga akan semakin banyak. Jadi, kami sebagai warga kota Yogyakarta dan sekitarnya berharap melihat pengorbananmu, Pemkot Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar